A.
Alasan
Bhikkhu harus Gundul
Para siswa Sang Buddha yang meninggalkan
keduniawian mencukur rambutnya selain mencontoh tindakan Pertapa Gotama, juga
bertujuan untuk mengurangi kemelekatan/keterikatan. Misalkan seorang bhikkhu
memiliki rambut maka setiap hari ia harus merawat rambutnya dengan menyisirnya,
memakai minyak rambut, bahkan harus ke salon memotong rambut sesuai gaya yang
diinginkan. Dengan demikian kebutuhan hidupnya akan bertambah (harus memakai
sisir, minyak rambut, dan lain-lain). Padahal seorang bhikkhu harus hidup
sederhana, tidak memiliki banyak kebutuhan selain kebutuhan pokok seorang
bhikkhu (tempat tinggal, jubah, makanana dan obat-obatan). Itu sebabnya para
bhikkhu harus mencukur rambutnya alias botak.http://dhamma-bm.tripod.com/doktrin/sila.htm(diakses08Oktober2013)
B.
Sejarah
Atthasila
Sejarah yang terdapat dalam
kitab suci Tipitaka mencatat bahwa pada tahap awal pembentukan Bhikkhu
Sasana (pasamuan para bhikkhu), tidak terdapat peraturan khusus tentang hal
makan. Sebagai contoh kelima pertapa teman Pertapa Siddhattha Gotama yang
akhirnya menjadi bhikkhu (Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji)
mempunyai sila yang tinggi. Namun lama kelamaan setelah banyak orang yang
berniat tidak baik masuk dalam Bhikkhu Sasana, sebagai konsekuensinya
jumlah bhikkhu yang tidak disiplin juga semakin banyak. Sebagian dari mereka
menjadi bhikkhu bukan untuk tujuan pencapaian kesucian, tetapi mereka bertujuan
untuk mendapatkan dunia materi, ingin bebas dari pajak, hukuman, dan
sebagainya.
Sebagian dari para bhikkhu
makan dengan tak mengenal batas waktu atau dengan kata lain mereka makan sesuai
dengan keinginannya (dalam jangka waktu 24 jam). Hal demikian mendatangkan
celaan bagi para bijaksana. Latukikopama Sutta menyebutkan bahwa pada
suatu malam ada seorang bhikkhu yang pergi untuk mengumpulkan makanan (pindapata).
Pada waktu itu terdapat seorang upasika yang membuang air keluar dari dalam
rumahnya. Secara tidak sengaja air tersebut mengenai bhikkhu yang kebetulan
berdiri di depan rumahnya. Karena merasa takut dan bersalah dia lapor kepada
Sang Buddha.
Dalam teks yang sama juga
diceritakan bahwa sebagian dari para bhikkhu memasak makanan untuk makan malam
di pondok mereka. Setelah melihat hal-hal demikian dan mempertimbangkan
beberapa bahaya yang diakibatkan dari makan yang tak terkontrol. Sang Buddha
merasa perlu untuk menetapkan aturan tentang hal makan bagi para bhikkhu. Sang
Buddha adalah seorang guru yang sangat bijaksana, Beliau berbuat sesuai dengan
apa yang Beliau ajarkan, dan mengajar sesuai dengan apa yang Beliau praktekkan.
Beliau bukan seorang otoriter atau diktator. Peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan untuk para bhikkhu berdasarkan keperluan. Sebelum menetapkan
beberapa aturan makan dan aturan lainnya, langkah yang diambil oleh Sang Buddha
adalah dengan memberikan contoh yang baik kepada para murid-Nya. Kemudian
Beliau menganjurkan kepada para murid-Nya untuk mengikuti apa yang telah Beliau
praktekkan.
Dalam Brahmajala Sutta
dari kitab Digha Nikaya disebutkan bahwa Sang Buddha menghindari makan
pada waktu yang salah. Beliau menghindari makan malam dan hanya makan sekali
sehari (eka bhattika). Lebih lanjut dijelaskan dalam Digha Nikaya
Atthakatha Sumangala Vilasini disebutkan ada dua macam makanan yaitu makan
pagi (patarasa bhatta) dan makan malam (sayamasa bhatta). Patarasa
bhatta hanya diperbolehkan makan dalam batas waktu dari pagi sampai tengah
hari. Sedangkan sayamasa bhatta hanya diperbolehkan makan dalam batas
waktu dari tengah hari sampai fajar pagi.
Para bhikkhu hanya
dipeibolehkan untuk mengambil patarasa bhatta saja. Karena biasanya para
bhikkhu mengambil makan pagi dan makan siang. Lain halnya dengan ekasana
bhojanam (makan dengan sekali duduk). Maksudnya seorang bhikkhu setelah
makan dan kemudian berdiri, tidak diperbolehkan duduk dan makan pagi. Ekasana
bhojanam juga sering diterjemahkan dengan makan sekali sehari. Dalam Kakacupama
Sutta dari Kitab Majjhima Nikaya Sang Buddha berkata "Aham
kho bhikkhave ekasana bhojanam bhunjami" yang berarti "Oh
bhikkhu, Saya selalu membiasakan untuk makan sekali sehari". Lebih
lanjut Sang Buddha menerangkan bahwa sebagai akibat dari kebiasaan tersebut,
Beliau selalu sehat dan kuat serta hidup dengan penuh kebahagiaan. Tujuan
obyektif dari Sang Buddha untuk mendukung dan melatih para bhikkhu agar hidup
dengan makan sekali sehari.
Awalnya para bhikkhu yang
tidak disiplin sulit menerima nasehat yang diberikan oleh Sang Buddha. Namun
akhimya mereka mau mengikuti nasehat tersebut. Demikianlah jika Dhamma
(ajaran Sang Buddha) tidak dijalankan, maka muncul berbagai macam kritik dari
masyarakat yang ditujukan kepada Sangha. Sehingga Sang Buddha menetapkan
peraturan untuk para bhikkhu pada masalah tersebut. Setelah melihat akan bahaya
yang ditimbulkan dari makan yang tak terkontrol dan mempertimbangkan berbagai
macam kritikan yang muncul dari masyarakat. Sang Buddha menetapkan peraturan
yang berbunyi. "Seorang bhikkhu yang makan makanan padat, makanan lunak
pada waktu yang salah (vikala), dia melanggar peraturan apatti".
Dalam kitab suci Tipitaka
disebutkan bahwa istilah vikala mempunyai beberapa arti sesuai dengan
konteksnya. Dalam Vlnaya Pitaka disebutkan bahwa vikala berarti
suatu masa di mana tengah hari telah lewat sampai matahari terbit. Hal ini
menunjukkan bahwa menurut Vinaya, para bhikkhu hanya diperbolehkan untuk
makan makanan padat atau lunak dalam batas waktu antara matahari terbit sampai
tengah hari. Kalau kita menganalisa istilah patarasa bhatta yang telah
disebutkan di atas, mungkin kita akan mempertanyakan mengapa para bhikkhu
diperbolehkan untuk mengambil makan pagi dan makan siang. Masalah ini timbul
karena kesalah-pengertian dari terjemahan istilah tersebut. Patarasa bhatta
biasanya diterjemahkan dengan makan pagi. Tetapi sebenarnya istilah patarasa
bhatta berarti makanan yang bisa diambil dalam batas waktu antara matahari
terbit sampai tengah hari. Sehingga makan pagi dan siang tidak melanggar vikala
(waktu yang salah). Dalam Vinaya Pitaka juga dengan jelas disebutkan
bahwa para bhikkhu diperbolehkan untuk sarapan pagi dengan makan yagu
(nasi bubur) sebelum makan siang. Lain hainya dengan istilah vikala yang
didefinisikan dalam Sumangala Vilasini. Dalam teks tersebut istilah vikala
didefinisikan sebagai berikut: "Atikkante majjhantike yava
suriyatthagamana", yang berarti "Suatu masa di mana tengah
hari telah lewat sampai matahari tengggelam". Definisi yang diberikan
dalam komentar dari Digha Nikaya ini bertentangan dengan apa yang
terdapat di dalam Vinaya Pitaka. Kalau kita mengikuti definisi ini, maka
seorang bhikkhu diperbolehkan makan malam. Tetapi menurut keterangan di atas,
hal ini sangatlah bertentangan, sehingga pada umumnya para scholar tidak
menerimanya. Dalam Latukikopama Sutta yang ditegaskan pada Kitagiri
Sutta dengan jelas disebutkan bahwa istilah vikala meliputi makan
dalam batas waktu antara tengah hari sampai matahari terbenam dan makan dalam
batas waktu dari matahari tenggelam sampai matahari terbit. Jadi seandainya
seorang bhikkhu makan malam dalam dua batas waktu ini, dia melanggar peraturan apatti.
Dari keterangan di atas
dapat disimpulkan bahwa Sang Buddha mendukung praktek untuk makan sekali sehari
sebelum tengah hari. Praktek demikian bukan merupakan cara penyiksaan diri
tetapi sebagai cara penyesuaian diri dan cara yang layak bagi para bhikkhu
untuk membantu mereka dalam menjalankan Dhamma. Jadi menurut pandangan agama
Buddha, puasa bukan merupakan suatu tujuan, tetapi suatu cara untuk mencapai
tujuan. Puasa dalam pengertian agama Buddha bukan berarti perlombaan untuk
tidak makan dengan prinsip siapa yang kuat dialah yang sukses. Namun cara hidup
yang ditunjukkan oleh Sang Buddha lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas
mental, terutama untuk mengurangi nafsu keserakahan (lobha) dan bukan
sebaliknya. Bagi para upasaka atau upasika yang ingin meningkatkan kualitas
mental, dianjurkan untuk melatih diri dengan menjalankan atthasila
terutama pada hari Uposatha. Kalau kita melihat pengertian puasa sesuai
dengan kamus, maka atthasila adalah istilah dalam agama Buddha untuk
menyebut puasa. Tetapi perlu dicatat bahwa pengertian atthasila lebih
luas dari apa yang ada dalam kamus. Puasa yang diartikan dalam kamus hanya
menyangkut satu aspek dari delapan sila yang terdapat dalam atthasila
yakni sila yang keenam yang berbunyi, "Vikala bhojana veramani"
(saya bertekad untuk tidak makan pada waktu yang salah).
C.
Majelis
dalam Tantrayana
Dalam agama Buddha Tantrayana
terdapat majelis-majelis yang memiliki peranan penting dalam perkembangan agama
Buddha Tantrayana di Indonesia. Majelis-majelis tersebut antara lain:
1. Majelis
Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madhatantri)
a.
Sejarah Madha Tantri
Berawal dari keinginan Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo akan adanya
suatu wadah yang resmi dan sah secara hukum di Indonesia, yang dapat
membabarkan Dharma Tantrayana Satya Buddha, maka keinginan Beliau yang telah
menjadi instruksi dan tertuang dalam suratnya pada tanggal 29 April 1998 itu
mendapat respons dari siswa-siswanya yang ada di Jakarta. Seperti diketahui
sejak tahun 1988 telah ada penganut agama Buddha aliran Tantrayana Satya Buddha
(Cen Fo Cung) seperti yang dikoordinir oleh Ibu Susan Kumala yang telah membentuk
Cetya di Muara Karang, Jakarta. Kemudian pada tahun 1993 berkembang menjadi
Yayasan Dharma Hastabrata yang menaungi Vihara Dharma Hastabrata yang terletak
di kompleks Duta Mas Jakarta Barat.
Setelah
melalui penelitian mengenai kemungkinan membentuk wadah setingkat Majelis
Agama, maka pembentukan wadah tersebut diawali dengan pembentukan Lembaga
Tantrayana Satya Buddha Indonesia (LTSBI) pada tanggal 12 Juni 1998, yang turut
mendirikan dan menjadi anggota dari terbentuknya wadah kebersamaan Umat Buddha
Indonesia yang bernama Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) pada 20
Agustus 1998.
Pembentukan
LTSBI itu Dilaporkan kepada Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo, dan
mendapat tanggapan dan dorongan yang positif dari Beliau beserta The True
Foundation-nya, sebagaimana yang tertuang di dalam suratnya tertanggal 5
September 1998. Dalam surat Maha Guru tersebut dinyatakan bahwa pembentukan
LTSBI sebagai sesuatu yang sangat terpuji dan berjasa.
Jauh sebelum
LTSBI itu sendiri berdiri, sedikitnya telah terdapat 46 (empat puluh enam)
yayasan Vihara/Cetiya di seluruh Indonesia yang didirikan oleh umat Buddha
Aliran Tantrayana Satya Buddha di Indonesia, diantaranya Yayasan Dharma
Hastabrata yang berdiri pada tanggal 11 Januari 1993, dan merupakan cikal bakal
kebangkitan Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia. Perjuangan
untuk membentuk suatu wadah setingkat Majelis mendapat momentum yang pasti
setelah bergulirnya reformasi di Tanah Air. Bergabung dengan Walubi (Perwakilan
Umat Buddha Indonesia) pada 20 Agustus 1998, maka LTSBI pun kemudian berkembang
dan memantapkan dirinya untuk menjadi Majelis setelah mencapai 12 propinsi.
Tanggal 15
Desember 1998, LTSBI mengikrarkan dirinya menjadi Majelis Agama Buddha
Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madha Tanrtri), dan terdaftar secara resmi
di Direktorat Sosial Politik Departemen Dalam Negeri RI Nomor 210 Tahun 1998.
Dengan demikian Madha Tantri sejak tanggal 15 Desember 1998 itu telah dapat
melakukan kegiatannya di seluruh Indonesia. Dengan Ketua Umum Ibu Susan Kumala
dan Sekretaris Jenderal yang dipercayakan kepada Drs. Eddy Hertanto SH, maka
keinginan Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo akan suatu wadah resmi dan
sesuai dengan hukum di Indonesia pun terkabul. Sebagai badan resmi yang diakui
oleh Pemerintah, kini Madha Tantri secara organisasi semakin solid dan
terkoordinasi, terbukti dengan telah diadakannya Rakernas sebanyak tiga kali.
Pertama pada 25-26 Desember 1998, dan Kedua pada 13-15 Desember 1999, serta
ketiga pada 13-14 April 2001. Pada Rakernas tersebut, selalu menata kembali
dirinya serta menyempurnakan program-programnya. Dengan begitu segala apa yang
menjadi misi dan visi Madha Tantri akan menjadi lebih jelas untuk terwujud, dan
harapan yang diungkapkan Maha Guru terhadap pendirian wadah Madha Tantri - demi
perkembangan Tantrayana Satya Buddha - semakin luas dan menyeluruh di Indonesia
bisa segera menjadi kenyataan.
b.
Pokok-Pokok Ajaran
Ajaran Tantrayana Satya Buddha Indonesia bersumber dari ajaran Sakyamuni
Buddha dan ajaran esoterik Tantrayana yang diajarkan Maha Mula Vajra Acharya
Liansheng Huo Fo. Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huofo memperoleh
keberhasilan silsilah ajaran esoterik dari sesepuh Tantrayana Tibet, yaitu :
1.
Liao Ming (Nyingma-pa - Aliran Tantra Merah)
2.
Ven. Tuten Dhargay (Gelug-pa - Aliran Tantra Kuning)
3.
H,H. Karmapa XVI (Kagyud-pa - Aliran Tantra Putih)
4.
Lama Sakya zheng-kong (Sakya-pa - Aliran Tantra Bunga)
Adapun
Pokok-Pokok Ajaran Tantrayana Satya Buddha antara lain:
1.
Catur Arya Satyani
2.
Tri-Lakshana
3.
Pratitya Samutpada
4.
Hukum Karma dan Tumimbal Lahir
5.
Tri-Kaya
6.
Bodhisattva
7.
Upaya Kausalya
8.
Sunyata
Ajaran
Esoterik Tantrayana Satya Buddha meliputi:
1.
Kriya Tantra
2.
Carya Tantra
3.
Yoga Tantra
4.
Anuttara Tantra
Metode
Latihan Tantrayana Satya Buddha dibawah ini berdasarkan eskalasi latihan
sebagai berikut:
1.
Sadhana Catur Prayoga
a.
Maha Namaskara
b.
Maha Puja
c.
Catur Sarana
d.
Sadhana Vajrasattva
2.
Sadhana Guru Yoga Padma Kumara
3.
Sadhana Satya Dewata/Yidam Buddha
4.
Latihan Bhadra Kumbha
5.
Membangkitkan Kundalini
6.
Enam Keberhasilan Naropa
7.
Latihan Tanpa Tiris dst.
c.
Jadwal Kebaktian
1.
Kebaktian menurut jadwal kalender:
Hari Senin
(Umum) : Sadhana Catur Prayoga, Pukul 19.00
Hari Jum'at
(Umum) : Sadhana Yidam Yoga, Pukul 19.00
Hari Minggu
(Sekolah Minggu) : Sadhana Catur Prayoga, Pukul 08.00
Hari Minggu
(Remaja) : Sadhana Catur Prayoga, Pukul 10.30
2.
Kebaktian menurut kalender Lunar:
Tanggal 1
dan 15 (Umum) : Sadhana Umum, Pukul 19.00
Tanggal 18 (
Umum) : Upacara Penyesalan dan Pertobatan Satya Buddha Sutra, Pukul 19.00
3.
Kebaktian memperingati Hari Besar Para Buddha dan
Boddhisattva pada hari tertentu.
2. Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia
Majelis Agama Buddha Tantrayana
Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia (Zhenfo Zong Kasogatan) awalnya bernama Majelis
Dharma Duta Kasogatan Indonesia (Kasogatan) yang didirikan di Vihara Dharma
Darsana Ambarawa, Semarang pada tanggal 23 Juli 1975 oleh mendiang Romo
Giriputra Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oka Diputhera. Pada tahun 1988
Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang beraliran Tantrayana Zhenfo Zong
(SatyaBuddha) pimpinan Romo Harsono berintegrasi dengan Kasogatan, yang
kemudian berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan
Indonesia pada 1994. Majelis ini kemudian berganti nama lagi menjadi Majelis
Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.
Sejarah Kasogatan
Sejarah Kasogatan
Kasogatan adalah kelompok Tantrayana
yang pertama lahir di masa kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia yang
dipelopori oleh mendiang Bhikkhu Ashin Jinnarakitta Mahathera pada tahun
1953-6. Dipelopori oleh mendiang Romo Giriputra Soemarsono dan Romo Dharmesvara
Oka Diputhera, Kasogatan lahir dari dorongan hati nurani untuk menggali kembali
khazanah agama Buddha yang pernah jaya di Nusantara, yakni pada zaman keprabuan
Majapahit (Date), zaman kedatuan Sriwijaya (date), serta pada zaman Mataram
purba (date). Puncak kejayaan agama Buddha di tanah air terekam pada candi
Borobudur yang merupakan salah satu monumen keajaiban dunia.
Istilah Kasogatan mempunyai hakekat
dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa, karena digunakan pada
zaman Majapahit untuk menyebut Ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata
Sugata, yaitu salah satu gelar maha agung Sang Buddha, yang berarti yang
berbahagia. Dalam keprabuan Majapahit, penasehat agung Maharaja Hayam Wuruk dari
Agama Buddha bergelar Dharmadhyaksa ring Kasogatan, sedangkan dari Agama Siwa
disebut Dharmadhyaksa ring Kasewan. Ajaran agama Buddha (Kasogatan) yang
berkembang di Nusantara masa itu terangkum dalam kitab suci Sanghyang
Kamahayanikan yang memadukan aliran Buddha Tantrayana dan Mahayana yang dianut
oleh nenek moyang kita dalam satu panunggalan yang utuh.
Sejarah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia
Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia
yang didirikan tahun 1987 adalah wadah umat Tantrayana beraliran Zhenfo Zong
pertama di Indonesia. Sejarahnya berawal dari umat Buddha yang bernama Harsono
(Kini Vajracarya Harsono) yang menekuni ajaran Tantrayana pada tahun 1985. Pada
suatu kunjungannya ke Amerika menemui Maha Acarya Lian Sheng tahun xxxx, Sdr.
Harsono diberkahi air suci oleh Sang Maha Acarya. Sejak itu sakit kepala yang
telah dideritanya selama 8 tahun sembuh. Setelah kembali ke Indonesia Sdr.
Harsono berubah, yakni setiap pagi melaksanakan meditasi dan tekun
bersembahyang. Beliaupun mulai memimpin kelompok kebaktian dengan tata ritual
Tantrayana.
Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong yang berjumlah kurang lebih 200 orang melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lain karena tidak tersedianya fasilitas bersembahyang yang tetap. Sdr. Harsono mengajak beberapa umat untuk mendirikan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia pada tahun 1987, dan pada tahun xxx membangun sebuah vihara di daerah Muara Karang, Jakarta Utara yang diberi nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta (Foguangtang) sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia.
Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong yang berjumlah kurang lebih 200 orang melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lain karena tidak tersedianya fasilitas bersembahyang yang tetap. Sdr. Harsono mengajak beberapa umat untuk mendirikan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia pada tahun 1987, dan pada tahun xxx membangun sebuah vihara di daerah Muara Karang, Jakarta Utara yang diberi nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta (Foguangtang) sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia.
Penggabungan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia Dan Kasogatan
Pada bulan Oktober 1988 seluruh
jajaran pimpinan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan seluruh umat
Buddha yang dibinanya berintegrasi ke dalam Majelis Dharma Duta Kasogatan
Indonesia. Penggabungan ini dimaksudkan untuk membantu pembauran secara wajar
melalui jalur agama Buddha dan jalur sosial budaya, serta terwujudnya
terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya
Indonesia.
Sehubungan dengan penggabungan mahzab agama Buddha ke
dalam sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha yang menjadi anggota
Perwalian Umat Budha Indonesia pada tahun xxxx, Majelis Dharma Duta Kasogatan
Indonesia yang akan masuk dalam mahzab Tantrayana berubah nama menjadi Majelis
Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, disingkat KASOGATAN, yang
diresmikan pada Pasamuan xxx tanggal Oktober 1994. Majelis berganti nama
menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada
tahun 2001. http://prajayuga.blogspot.com/2009/02/sejarah-majelis-agama-buddha-tantrayana.html
(di akses 08 Oktober 2013)
D.
Mudra
dalam Tantrayana
Apabila
kita melihat sekilas patung Budha itu nampak serupa semuanya, tetapi
sesungguhnya ada juga perbedaan-perbedaannya. Perbedaan yang sangat jelas
adalah sikap tangan atau yang disebut Mudra yang merupakan khas untuk setiap
patung. Sikap kedua belah tangan Budha atau Mudra dalam Bahasa Sanksekerta,
memiliki arti perlambangan yang khas. Ada enam jenis yang bermakna
sedalam-dalamnya. Namun demikian karena macam mudra yang dimiliki oleh
patung-patung yang menghadap semua arah bagian Rupadhatu (lingkaran V) maupun
di bagian Arupadhatu pada umumnya menggambarkan maksud yang sama. Maka jumlah
mudra yang pokok ada lima (Soekmono,1981).
Kelima mudra itu
adalah.
1.
Bhumisparca Mudra
Mudra ini
menggambarkan sikap tangan sedang menyentuh tanah. Tangan kiri terbuka dan
menengadah di pangkuan, sedangkan tangan kanan menempel pada lutut kanan dengan
jari-jarinya menunjuk ke bawah.
Sikap tangan ini
melambangkan saat Sang Budha memanggil Dewi Bimi sebagai saksi ketika ia
menangkis serangan Iblis Mara. Mudra ini adalah khas bagi Dhyani Budha Aksobhya
yang bersemayam di Timur. Patung ini menghadap ke timur langkan I sampai
langkan IV. Mudra ini tanda khusus bagi Dhyani Budha Aksobhya sebagai penguasa
daerah timur.
2.
Abhaya Mudra
Mudra ini menggambarkan
sikap tangan sedang menenangkan dan menyatakan “jangan khawatir”. Tangan kiri
terbukan dan menengadah di pangkuan, sedangkan tangan kanan diangkat sedikit di
atas lutut kanan dengan telapak menghadap ke muka. Patung ini menghadap ke
utara langkan I sampai langkan IV dan merupakan tanda khusus bagi Dhyani Budha
Amogasidha yang berkuasa di utara.
3.
Dhayani Mudra
Mudra ini
menggambarkan sikap semadi. Kedua tangan diletakan di pangkuan, yang kanan di
atas, yang kiri dengan telapaknya menengadah dan kedua jempolnya saling
bertemu. Patung ini menghadap ke barat di langkan I sampai langkan IV dan
merupakan tanda khusus bagi Dhyani Budha Amitabha yang menjadi penguasa daerah
barat.
4.
Wara Mudra
Mudra ini
menggambarkan pemberian amal. Sepintas sikap tangan ini tampak nampak serupa
dengan Bhumisparca Mudra tetapi telapak tangan yang kanan menghadap ke atas
sedangkan jari-jarinya terletak di lutut kanan. Dengan mudra ini dapat dikenali
Dhyani Budha Ratna Sambawa yang bertahta di selatan. Letak patung ini di langkan
I sampai langkan IV menghadap ke selatan.
5.
Dharmacakra Mudra
Mudra ini
melambangkan gerak memutar roda dharma. Kedua tangan diangkat sampai ke depan
dada, yang kiri di bawah yang kanan. Tangan yang kiri itu menghadap ke atas,
dengan jari manisnya. Sikap tangan demikian memang serupa benar dengan gerak
memutar sebuah roda. Mudra ini menjadi ciri khas bagi Dhyani Budha Wairocana
yang daerah kekuasaannya terletak di pusat.
E.
Pandita
Tantrayana
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, terlahir The Boan An, juga dikenal dengan
panggilan Su Kong (lahir di Bogor, Jawa Barat, Hindia Belanda, 23 Januari1923 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 18 April2002 pada umur 79 tahun) merupakan orang
Indonesia pertama yang ditahbiskan menjadi bhikkhu setelah 500
tahun runtuhnya kerajaan Majapahit saat ia ditahbiskan pada tahun 1953. Dia merupakan salah satu tokoh
yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Buddhis di Indonesia modern.
Selain mempelajari kimia di Groningen, Belanda dia juga
mendalami agama Buddha. Pada Juni
1953 ia ditahbiskan dalam tradisi Mahayana di Jakarta.
Pembimbingnya menganjurkan agar ia belajar lebih lanjut di Myanmar, karena itu
pada tahun yang sama ia masuk Sasana Yeiktha di Yangon untuk belajar meditasisatipatthana di bawah bimbingan Mahasi Sayadaw. Pada tahun berikutnya ia
ditahbiskan menjadi bhikkhu dan
mengambil nama Ashin Jinarakkhita.
Pada tahun 1955 ia kembali
ke Jawa dan dengan
kerja keras membangun kembali vihara-vihara dan biara-biara Buddhis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar