Jumat, 13 Desember 2013

Aliran Mahayana

A.    Alasan Bhikkhu harus Gundul
Para siswa Sang Buddha yang meninggalkan keduniawian mencukur rambutnya selain mencontoh tindakan Pertapa Gotama, juga bertujuan untuk mengurangi kemelekatan/keterikatan. Misalkan seorang bhikkhu memiliki rambut maka setiap hari ia harus merawat rambutnya dengan menyisirnya, memakai minyak rambut, bahkan harus ke salon memotong rambut sesuai gaya yang diinginkan. Dengan demikian kebutuhan hidupnya akan bertambah (harus memakai sisir, minyak rambut, dan lain-lain). Padahal seorang bhikkhu harus hidup sederhana, tidak memiliki banyak kebutuhan selain kebutuhan pokok seorang bhikkhu (tempat tinggal, jubah, makanana dan obat-obatan). Itu sebabnya para bhikkhu harus mencukur rambutnya alias botak.http://dhamma-bm.tripod.com/doktrin/sila.htm(diakses08Oktober2013)
B.     Sejarah Atthasila
Sejarah yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka mencatat bahwa pada tahap awal pembentukan Bhikkhu Sasana (pasamuan para bhikkhu), tidak terdapat peraturan khusus tentang hal makan. Sebagai contoh kelima pertapa teman Pertapa Siddhattha Gotama yang akhirnya menjadi bhikkhu (Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji) mempunyai sila yang tinggi. Namun lama kelamaan setelah banyak orang yang berniat tidak baik masuk dalam Bhikkhu Sasana, sebagai konsekuensinya jumlah bhikkhu yang tidak disiplin juga semakin banyak. Sebagian dari mereka menjadi bhikkhu bukan untuk tujuan pencapaian kesucian, tetapi mereka bertujuan untuk mendapatkan dunia materi, ingin bebas dari pajak, hukuman, dan sebagainya.
Sebagian dari para bhikkhu makan dengan tak mengenal batas waktu atau dengan kata lain mereka makan sesuai dengan keinginannya (dalam jangka waktu 24 jam). Hal demikian mendatangkan celaan bagi para bijaksana. Latukikopama Sutta menyebutkan bahwa pada suatu malam ada seorang bhikkhu yang pergi untuk mengumpulkan makanan (pindapata). Pada waktu itu terdapat seorang upasika yang membuang air keluar dari dalam rumahnya. Secara tidak sengaja air tersebut mengenai bhikkhu yang kebetulan berdiri di depan rumahnya. Karena merasa takut dan bersalah dia lapor kepada Sang Buddha.
Dalam teks yang sama juga diceritakan bahwa sebagian dari para bhikkhu memasak makanan untuk makan malam di pondok mereka. Setelah melihat hal-hal demikian dan mempertimbangkan beberapa bahaya yang diakibatkan dari makan yang tak terkontrol. Sang Buddha merasa perlu untuk menetapkan aturan tentang hal makan bagi para bhikkhu. Sang Buddha adalah seorang guru yang sangat bijaksana, Beliau berbuat sesuai dengan apa yang Beliau ajarkan, dan mengajar sesuai dengan apa yang Beliau praktekkan. Beliau bukan seorang otoriter atau diktator. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan untuk para bhikkhu berdasarkan keperluan. Sebelum menetapkan beberapa aturan makan dan aturan lainnya, langkah yang diambil oleh Sang Buddha adalah dengan memberikan contoh yang baik kepada para murid-Nya. Kemudian Beliau menganjurkan kepada para murid-Nya untuk mengikuti apa yang telah Beliau praktekkan.
Dalam Brahmajala Sutta dari kitab Digha Nikaya disebutkan bahwa Sang Buddha menghindari makan pada waktu yang salah. Beliau menghindari makan malam dan hanya makan sekali sehari (eka bhattika). Lebih lanjut dijelaskan dalam Digha Nikaya Atthakatha Sumangala Vilasini disebutkan ada dua macam makanan yaitu makan pagi (patarasa bhatta) dan makan malam (sayamasa bhatta). Patarasa bhatta hanya diperbolehkan makan dalam batas waktu dari pagi sampai tengah hari. Sedangkan sayamasa bhatta hanya diperbolehkan makan dalam batas waktu dari tengah hari sampai fajar pagi.
Para bhikkhu hanya dipeibolehkan untuk mengambil patarasa bhatta saja. Karena biasanya para bhikkhu mengambil makan pagi dan makan siang. Lain halnya dengan ekasana bhojanam (makan dengan sekali duduk). Maksudnya seorang bhikkhu setelah makan dan kemudian berdiri, tidak diperbolehkan duduk dan makan pagi. Ekasana bhojanam juga sering diterjemahkan dengan makan sekali sehari. Dalam Kakacupama Sutta dari Kitab Majjhima Nikaya Sang Buddha berkata "Aham kho bhikkhave ekasana bhojanam bhunjami" yang berarti "Oh bhikkhu, Saya selalu membiasakan untuk makan sekali sehari". Lebih lanjut Sang Buddha menerangkan bahwa sebagai akibat dari kebiasaan tersebut, Beliau selalu sehat dan kuat serta hidup dengan penuh kebahagiaan. Tujuan obyektif dari Sang Buddha untuk mendukung dan melatih para bhikkhu agar hidup dengan makan sekali sehari.
Awalnya para bhikkhu yang tidak disiplin sulit menerima nasehat yang diberikan oleh Sang Buddha. Namun akhimya mereka mau mengikuti nasehat tersebut. Demikianlah jika Dhamma (ajaran Sang Buddha) tidak dijalankan, maka muncul berbagai macam kritik dari masyarakat yang ditujukan kepada Sangha. Sehingga Sang Buddha menetapkan peraturan untuk para bhikkhu pada masalah tersebut. Setelah melihat akan bahaya yang ditimbulkan dari makan yang tak terkontrol dan mempertimbangkan berbagai macam kritikan yang muncul dari masyarakat. Sang Buddha menetapkan peraturan yang berbunyi. "Seorang bhikkhu yang makan makanan padat, makanan lunak pada waktu yang salah (vikala), dia melanggar peraturan apatti".
Dalam kitab suci Tipitaka disebutkan bahwa istilah vikala mempunyai beberapa arti sesuai dengan konteksnya. Dalam Vlnaya Pitaka disebutkan bahwa vikala berarti suatu masa di mana tengah hari telah lewat sampai matahari terbit. Hal ini menunjukkan bahwa menurut Vinaya, para bhikkhu hanya diperbolehkan untuk makan makanan padat atau lunak dalam batas waktu antara matahari terbit sampai tengah hari. Kalau kita menganalisa istilah patarasa bhatta yang telah disebutkan di atas, mungkin kita akan mempertanyakan mengapa para bhikkhu diperbolehkan untuk mengambil makan pagi dan makan siang. Masalah ini timbul karena kesalah-pengertian dari terjemahan istilah tersebut. Patarasa bhatta biasanya diterjemahkan dengan makan pagi. Tetapi sebenarnya istilah patarasa bhatta berarti makanan yang bisa diambil dalam batas waktu antara matahari terbit sampai tengah hari. Sehingga makan pagi dan siang tidak melanggar vikala (waktu yang salah). Dalam Vinaya Pitaka juga dengan jelas disebutkan bahwa para bhikkhu diperbolehkan untuk sarapan pagi dengan makan yagu (nasi bubur) sebelum makan siang. Lain hainya dengan istilah vikala yang didefinisikan dalam Sumangala Vilasini. Dalam teks tersebut istilah vikala didefinisikan sebagai berikut: "Atikkante majjhantike yava suriyatthagamana", yang berarti "Suatu masa di mana tengah hari telah lewat sampai matahari tengggelam". Definisi yang diberikan dalam komentar dari Digha Nikaya ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Vinaya Pitaka. Kalau kita mengikuti definisi ini, maka seorang bhikkhu diperbolehkan makan malam. Tetapi menurut keterangan di atas, hal ini sangatlah bertentangan, sehingga pada umumnya para scholar tidak menerimanya. Dalam Latukikopama Sutta yang ditegaskan pada Kitagiri Sutta dengan jelas disebutkan bahwa istilah vikala meliputi makan dalam batas waktu antara tengah hari sampai matahari terbenam dan makan dalam batas waktu dari matahari tenggelam sampai matahari terbit. Jadi seandainya seorang bhikkhu makan malam dalam dua batas waktu ini, dia melanggar peraturan apatti.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Sang Buddha mendukung praktek untuk makan sekali sehari sebelum tengah hari. Praktek demikian bukan merupakan cara penyiksaan diri tetapi sebagai cara penyesuaian diri dan cara yang layak bagi para bhikkhu untuk membantu mereka dalam menjalankan Dhamma. Jadi menurut pandangan agama Buddha, puasa bukan merupakan suatu tujuan, tetapi suatu cara untuk mencapai tujuan. Puasa dalam pengertian agama Buddha bukan berarti perlombaan untuk tidak makan dengan prinsip siapa yang kuat dialah yang sukses. Namun cara hidup yang ditunjukkan oleh Sang Buddha lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas mental, terutama untuk mengurangi nafsu keserakahan (lobha) dan bukan sebaliknya. Bagi para upasaka atau upasika yang ingin meningkatkan kualitas mental, dianjurkan untuk melatih diri dengan menjalankan atthasila terutama pada hari Uposatha. Kalau kita melihat pengertian puasa sesuai dengan kamus, maka atthasila adalah istilah dalam agama Buddha untuk menyebut puasa. Tetapi perlu dicatat bahwa pengertian atthasila lebih luas dari apa yang ada dalam kamus. Puasa yang diartikan dalam kamus hanya menyangkut satu aspek dari delapan sila yang terdapat dalam atthasila yakni sila yang keenam yang berbunyi, "Vikala bhojana veramani" (saya bertekad untuk tidak makan pada waktu yang salah).



C.    Majelis dalam Tantrayana
Dalam agama Buddha Tantrayana terdapat majelis-majelis yang memiliki peranan penting dalam perkembangan agama Buddha Tantrayana di Indonesia. Majelis-majelis tersebut antara lain:
1.      Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madhatantri)
a.       Sejarah Madha Tantri
Berawal dari keinginan Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo akan adanya suatu wadah yang resmi dan sah secara hukum di Indonesia, yang dapat membabarkan Dharma Tantrayana Satya Buddha, maka keinginan Beliau yang telah menjadi instruksi dan tertuang dalam suratnya pada tanggal 29 April 1998 itu mendapat respons dari siswa-siswanya yang ada di Jakarta. Seperti diketahui sejak tahun 1988 telah ada penganut agama Buddha aliran Tantrayana Satya Buddha (Cen Fo Cung) seperti yang dikoordinir oleh Ibu Susan Kumala yang telah membentuk Cetya di Muara Karang, Jakarta. Kemudian pada tahun 1993 berkembang menjadi Yayasan Dharma Hastabrata yang menaungi Vihara Dharma Hastabrata yang terletak di kompleks Duta Mas Jakarta Barat.
Setelah melalui penelitian mengenai kemungkinan membentuk wadah setingkat Majelis Agama, maka pembentukan wadah tersebut diawali dengan pembentukan Lembaga Tantrayana Satya Buddha Indonesia (LTSBI) pada tanggal 12 Juni 1998, yang turut mendirikan dan menjadi anggota dari terbentuknya wadah kebersamaan Umat Buddha Indonesia yang bernama Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) pada 20 Agustus 1998.
Pembentukan LTSBI itu Dilaporkan kepada Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo, dan mendapat tanggapan dan dorongan yang positif dari Beliau beserta The True Foundation-nya, sebagaimana yang tertuang di dalam suratnya tertanggal 5 September 1998. Dalam surat Maha Guru tersebut dinyatakan bahwa pembentukan LTSBI sebagai sesuatu yang sangat terpuji dan berjasa.
Jauh sebelum LTSBI itu sendiri berdiri, sedikitnya telah terdapat 46 (empat puluh enam) yayasan Vihara/Cetiya di seluruh Indonesia yang didirikan oleh umat Buddha Aliran Tantrayana Satya Buddha di Indonesia, diantaranya Yayasan Dharma Hastabrata yang berdiri pada tanggal 11 Januari 1993, dan merupakan cikal bakal kebangkitan Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia. Perjuangan untuk membentuk suatu wadah setingkat Majelis mendapat momentum yang pasti setelah bergulirnya reformasi di Tanah Air. Bergabung dengan Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) pada 20 Agustus 1998, maka LTSBI pun kemudian berkembang dan memantapkan dirinya untuk menjadi Majelis setelah mencapai 12 propinsi.
Tanggal 15 Desember 1998, LTSBI mengikrarkan dirinya menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madha Tanrtri), dan terdaftar secara resmi di Direktorat Sosial Politik Departemen Dalam Negeri RI Nomor 210 Tahun 1998. Dengan demikian Madha Tantri sejak tanggal 15 Desember 1998 itu telah dapat melakukan kegiatannya di seluruh Indonesia. Dengan Ketua Umum Ibu Susan Kumala dan Sekretaris Jenderal yang dipercayakan kepada Drs. Eddy Hertanto SH, maka keinginan Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo akan suatu wadah resmi dan sesuai dengan hukum di Indonesia pun terkabul. Sebagai badan resmi yang diakui oleh Pemerintah, kini Madha Tantri secara organisasi semakin solid dan terkoordinasi, terbukti dengan telah diadakannya Rakernas sebanyak tiga kali. Pertama pada 25-26 Desember 1998, dan Kedua pada 13-15 Desember 1999, serta ketiga pada 13-14 April 2001. Pada Rakernas tersebut, selalu menata kembali dirinya serta menyempurnakan program-programnya. Dengan begitu segala apa yang menjadi misi dan visi Madha Tantri akan menjadi lebih jelas untuk terwujud, dan harapan yang diungkapkan Maha Guru terhadap pendirian wadah Madha Tantri - demi perkembangan Tantrayana Satya Buddha - semakin luas dan menyeluruh di Indonesia bisa segera menjadi kenyataan.
b.      Pokok-Pokok Ajaran
Ajaran Tantrayana Satya Buddha Indonesia bersumber dari ajaran Sakyamuni Buddha dan ajaran esoterik Tantrayana yang diajarkan Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huo Fo. Maha Mula Vajra Acharya Liansheng Huofo memperoleh keberhasilan silsilah ajaran esoterik dari sesepuh Tantrayana Tibet, yaitu :
1.      Liao Ming (Nyingma-pa - Aliran Tantra Merah)
2.      Ven. Tuten Dhargay (Gelug-pa - Aliran Tantra Kuning)
3.      H,H. Karmapa XVI (Kagyud-pa - Aliran Tantra Putih)
4.      Lama Sakya zheng-kong (Sakya-pa - Aliran Tantra Bunga)
Adapun Pokok-Pokok Ajaran Tantrayana Satya Buddha antara lain:
1.      Catur Arya Satyani
2.      Tri-Lakshana
3.      Pratitya Samutpada
4.      Hukum Karma dan Tumimbal Lahir
5.      Tri-Kaya
6.      Bodhisattva
7.      Upaya Kausalya
8.      Sunyata
Ajaran Esoterik Tantrayana Satya Buddha meliputi:
1.      Kriya Tantra
2.      Carya Tantra
3.      Yoga Tantra
4.      Anuttara Tantra
Metode Latihan Tantrayana Satya Buddha dibawah ini berdasarkan eskalasi latihan sebagai berikut:
1.      Sadhana Catur Prayoga
a.      Maha Namaskara
b.      Maha Puja
c.      Catur Sarana
d.     Sadhana Vajrasattva
2.      Sadhana Guru Yoga Padma Kumara
3.      Sadhana Satya Dewata/Yidam Buddha
4.      Latihan Bhadra Kumbha
5.      Membangkitkan Kundalini
6.      Enam Keberhasilan Naropa
7.      Latihan Tanpa Tiris dst.
c.       Jadwal Kebaktian
1.       Kebaktian menurut jadwal kalender:
Hari Senin (Umum) : Sadhana Catur Prayoga, Pukul 19.00
Hari Jum'at (Umum) : Sadhana Yidam Yoga, Pukul 19.00
Hari Minggu (Sekolah Minggu) : Sadhana Catur Prayoga, Pukul 08.00
Hari Minggu (Remaja) : Sadhana Catur Prayoga, Pukul 10.30
2.       Kebaktian menurut kalender Lunar:
Tanggal 1 dan 15 (Umum) : Sadhana Umum, Pukul 19.00
Tanggal 18 ( Umum) : Upacara Penyesalan dan Pertobatan Satya Buddha Sutra, Pukul 19.00
3.       Kebaktian memperingati Hari Besar Para Buddha dan Boddhisattva pada hari tertentu.

2.      Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia
Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia (Zhenfo Zong Kasogatan) awalnya bernama Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia (Kasogatan) yang didirikan di Vihara Dharma Darsana Ambarawa, Semarang pada tanggal 23 Juli 1975 oleh mendiang Romo Giriputra Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oka Diputhera. Pada tahun 1988 Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang beraliran Tantrayana Zhenfo Zong (SatyaBuddha) pimpinan Romo Harsono berintegrasi dengan Kasogatan, yang kemudian berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia pada 1994. Majelis ini kemudian berganti nama lagi menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

Sejarah Kasogatan
Kasogatan adalah kelompok Tantrayana yang pertama lahir di masa kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia yang dipelopori oleh mendiang Bhikkhu Ashin Jinnarakitta Mahathera pada tahun 1953-6. Dipelopori oleh mendiang Romo Giriputra Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oka Diputhera, Kasogatan lahir dari dorongan hati nurani untuk menggali kembali khazanah agama Buddha yang pernah jaya di Nusantara, yakni pada zaman keprabuan Majapahit (Date), zaman kedatuan Sriwijaya (date), serta pada zaman Mataram purba (date). Puncak kejayaan agama Buddha di tanah air terekam pada candi Borobudur yang merupakan salah satu monumen keajaiban dunia.
Istilah Kasogatan mempunyai hakekat dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa, karena digunakan pada zaman Majapahit untuk menyebut Ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata Sugata, yaitu salah satu gelar maha agung Sang Buddha, yang berarti yang berbahagia. Dalam keprabuan Majapahit, penasehat agung Maharaja Hayam Wuruk dari Agama Buddha bergelar Dharmadhyaksa ring Kasogatan, sedangkan dari Agama Siwa disebut Dharmadhyaksa ring Kasewan. Ajaran agama Buddha (Kasogatan) yang berkembang di Nusantara masa itu terangkum dalam kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang memadukan aliran Buddha Tantrayana dan Mahayana yang dianut oleh nenek moyang kita dalam satu panunggalan yang utuh.

Sejarah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia
Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang didirikan tahun 1987 adalah wadah umat Tantrayana beraliran Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Sejarahnya berawal dari umat Buddha yang bernama Harsono (Kini Vajracarya Harsono) yang menekuni ajaran Tantrayana pada tahun 1985. Pada suatu kunjungannya ke Amerika menemui Maha Acarya Lian Sheng tahun xxxx, Sdr. Harsono diberkahi air suci oleh Sang Maha Acarya. Sejak itu sakit kepala yang telah dideritanya selama 8 tahun sembuh. Setelah kembali ke Indonesia Sdr. Harsono berubah, yakni setiap pagi melaksanakan meditasi dan tekun bersembahyang. Beliaupun mulai memimpin kelompok kebaktian dengan tata ritual Tantrayana.
Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong yang berjumlah kurang lebih 200 orang melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lain karena tidak tersedianya fasilitas bersembahyang yang tetap. Sdr. Harsono mengajak beberapa umat untuk mendirikan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia pada tahun 1987, dan pada tahun xxx membangun sebuah vihara di daerah Muara Karang, Jakarta Utara yang diberi nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta (Foguangtang) sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia.

Penggabungan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia Dan Kasogatan
Pada bulan Oktober 1988 seluruh jajaran pimpinan Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan seluruh umat Buddha yang dibinanya berintegrasi ke dalam Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia. Penggabungan ini dimaksudkan untuk membantu pembauran secara wajar melalui jalur agama Buddha dan jalur sosial budaya, serta terwujudnya terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya Indonesia.
Sehubungan dengan penggabungan mahzab agama Buddha ke dalam sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha yang menjadi anggota Perwalian Umat Budha Indonesia pada tahun xxxx, Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia yang akan masuk dalam mahzab Tantrayana berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, disingkat KASOGATAN, yang diresmikan pada Pasamuan xxx tanggal Oktober 1994. Majelis berganti nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001. http://prajayuga.blogspot.com/2009/02/sejarah-majelis-agama-buddha-tantrayana.html (di akses 08 Oktober 2013)
D.    Mudra dalam Tantrayana
Apabila kita melihat sekilas patung Budha itu nampak serupa semuanya, tetapi sesungguhnya ada juga perbedaan-perbedaannya. Perbedaan yang sangat jelas adalah sikap tangan atau yang disebut Mudra yang merupakan khas untuk setiap patung. Sikap kedua belah tangan Budha atau Mudra dalam Bahasa Sanksekerta, memiliki arti perlambangan yang khas. Ada enam jenis yang bermakna sedalam-dalamnya. Namun demikian karena macam mudra yang dimiliki oleh patung-patung yang menghadap semua arah bagian Rupadhatu (lingkaran V) maupun di bagian Arupadhatu pada umumnya menggambarkan maksud yang sama. Maka jumlah mudra yang pokok ada lima (Soekmono,1981).
Kelima mudra itu adalah.
1.         Bhumisparca Mudra
Mudra ini menggambarkan sikap tangan sedang menyentuh tanah. Tangan kiri terbuka dan menengadah di pangkuan, sedangkan tangan kanan menempel pada lutut kanan dengan jari-jarinya menunjuk ke bawah.
Sikap tangan ini melambangkan saat Sang Budha memanggil Dewi Bimi sebagai saksi ketika ia menangkis serangan Iblis Mara. Mudra ini adalah khas bagi Dhyani Budha Aksobhya yang bersemayam di Timur. Patung ini menghadap ke timur langkan I sampai langkan IV. Mudra ini tanda khusus bagi Dhyani Budha Aksobhya sebagai penguasa daerah timur.
2.         Abhaya Mudra
Mudra ini menggambarkan sikap tangan sedang menenangkan dan menyatakan “jangan khawatir”. Tangan kiri terbukan dan menengadah di pangkuan, sedangkan tangan kanan diangkat sedikit di atas lutut kanan dengan telapak menghadap ke muka. Patung ini menghadap ke utara langkan I sampai langkan IV dan merupakan tanda khusus bagi Dhyani Budha Amogasidha yang berkuasa di utara.
3.         Dhayani Mudra
Mudra ini menggambarkan sikap semadi. Kedua tangan diletakan di pangkuan, yang kanan di atas, yang kiri dengan telapaknya menengadah dan kedua jempolnya saling bertemu. Patung ini menghadap ke barat di langkan I sampai langkan IV dan merupakan tanda khusus bagi Dhyani Budha Amitabha yang menjadi penguasa daerah barat.
4.         Wara Mudra
Mudra ini menggambarkan pemberian amal. Sepintas sikap tangan ini tampak nampak serupa dengan Bhumisparca Mudra tetapi telapak tangan yang kanan menghadap ke atas sedangkan jari-jarinya terletak di lutut kanan. Dengan mudra ini dapat dikenali Dhyani Budha Ratna Sambawa yang bertahta di selatan. Letak patung ini di langkan I sampai langkan IV menghadap ke selatan.
5.         Dharmacakra Mudra
Mudra ini melambangkan gerak memutar roda dharma. Kedua tangan diangkat sampai ke depan dada, yang kiri di bawah yang kanan. Tangan yang kiri itu menghadap ke atas, dengan jari manisnya. Sikap tangan demikian memang serupa benar dengan gerak memutar sebuah roda. Mudra ini menjadi ciri khas bagi Dhyani Budha Wairocana yang daerah kekuasaannya terletak di pusat.
E.     Pandita Tantrayana
Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, terlahir The Boan An, juga dikenal dengan panggilan Su Kong (lahir di Bogor, Jawa Barat, Hindia Belanda, 23 Januari1923 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 18 April2002 pada umur 79 tahun) merupakan orang Indonesia pertama yang ditahbiskan menjadi bhikkhu setelah 500 tahun runtuhnya kerajaan Majapahit saat ia ditahbiskan pada tahun 1953. Dia merupakan salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Buddhis di Indonesia modern. Selain mempelajari kimia di Groningen, Belanda dia juga mendalami agama Buddha. Pada Juni 1953 ia ditahbiskan dalam tradisi Mahayana di Jakarta. Pembimbingnya menganjurkan agar ia belajar lebih lanjut di Myanmar, karena itu pada tahun yang sama ia masuk Sasana Yeiktha di Yangon untuk belajar meditasisatipatthana di bawah bimbingan Mahasi Sayadaw. Pada tahun berikutnya ia ditahbiskan menjadi bhikkhu dan mengambil nama Ashin Jinarakkhita. Pada tahun 1955 ia kembali ke Jawa dan dengan kerja keras membangun kembali vihara-vihara dan biara-biara Buddhis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar